===Bahaya Sifat Riya’ dan Cara Mengobatinya===
Riya’ merupakan suatu jenis penyakit hati yang sangat berbahaya karena
bersifat lembut (samar-samar) tapi berdampak luar biasa. Bersifat lembut
karena masuk dalam hati secara halus sehingga kebanyakan orang tak
merasa kalau telah terserang penyakit ini. Dan berdampak luar biasa,
karena bila suatu amalan dijangkiti penyakit riya’ maka amalan itu tidak
akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala dan pelakunya mendapat
ancaman keras dari Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam sangat khawatir bila penyakit ini menimpa
umatnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah
asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa
yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam menjawab: “Ar Riya’.” (HR. Ahmad dari shahabat Mahmud bin Labid
no. 27742)
Arriya’ (الرياء) berasal dari kata kerja raâ (
راءى) yang bermakna memperlihatkan. Sedangkan yang dimaksud dengan
riya’ adalah memperlihatkan (memperbagus) suatu amalan ibadah tertentu
seperti shalat, shaum (puasa), atau lainnya dengan tujuan agar mendapat
perhatian dan pujian manusia. Semakna dengan riya’ adalah Sum’ah yaitu
memperdengarkan suatu amalan ibadah tertentu yang sama tujuannya dengan
riya’ yaitu supaya mendapat perhatian dan pujian manusia.
Perlu
diketahui bahwa segala amalan itu tergantung pada niatnya. Bila suatu
amalan itu diniatkan ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala maka amalan
itu akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Begitu juga sebaliknya,
bila amalan itu diniatkan agar mendapat perhatian, pujian, atau ingin
meraih sesuatu dari urusan duniawi, maka amalan itu tidak akan diterima
oleh Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan
sesungguhnya amalan seseorang itu akan dibalas sesuai dengan apa yang ia
niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibadah merupakan hak Allah subhanahu
wata’ala yang bersifat mutlak. Bahwa ibadah itu murni untuk Allah
subhanahu wata’ala, tidak boleh dicampuri dengan niatan lain selain
untuk-Nya. Sebagaimana peringatan Allah subhanahu wata’ala dalam
firman-Nya (artinya):
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan (ikhlas) ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Al
Bayyinah: 5)
BENTUK-BENTUK RIYA’
Bentuk-bentuk riya’
beraneka ragam warnanya dan coraknya. Bisa berupa perbuatan, perkataan,
atau pun penampilan yang diniatkan sekedar mencari popularitas dan
sanjungan orang lain, maka ini semua tergolong dari bentuk-bentuk
perbuatan riya’ yang dilarang dalam agama Islam.
HUKUM RIYA’
Riya’ merupakan dosa besar. Karena riya’ termasuk perbuatan syirik
kecil. Sebagaimana hadits di atas dari shahabat Mahmud bin Labid,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya yang
paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy
syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang
dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
menjawab: “Ar Riya’.”
Selain riya’ merupakan syirik kecil, ia pun mendatangkan berbagai macam mara bahaya.
BAHAYA RIYA’
Penyakit riya’ merupakan penyakit yang sangat berbahaya, karena memilki dampak negatif yang luar biasa.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang
beriman janganlah kalian menghilangkan pahala sedekahmu dengan selalu
menyebut-nyebut dan dengan menyakiti perasaan si penerima, seperti
orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan
tidak beriman kepada Allah dan hari akhir”. (Al Baqarah: 264)
Dalam
konteks ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala memberitakan akibat
amalan sedekah yang selalu disebut-sebut atau menyakiti perasaan si
penerima maka akan berakibat sebagaimana akibat dari perbuatan riya’
yaitu amalan itu tiada berarti karena tertolak di sisi Allah subhanahu
wata’ala.
Ayat di atas tidak hanya mencela perbuatanya saja (riya’), tentu celaan ini pun tertuju kepada pelakunya.
Bahkan dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wata’ala mengancam bahwa
kesudahan yang akan dialami orang-orang yang berbuat riya’ adalah
kecelakaan (kebinasaan) di akhirat kelak. Sebagaimana firman-Nya:
“Wail (Kecelakaanlah) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang
yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya’, … “ (Al
Maa’uun: 4-7)
Diperkuat lagi, adanya penafsiran dari Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma, makna Al Wail adalah ungkapan dari dasyatnya adzab
di akhirat kelak. (Tafsir Ibnu Katsir 1/118)
Sedangkan dalam hadits
yang shahih, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ancaman
bagi orang yang berbuat riya’ yaitu Allah subhanahu wata’ala akan
meninggalkannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam
Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah subhanahu
wata’ala berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan
dengan mencampurkan kesyirikan bersama-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia
dan amal kesyirikannya itu”.
Bila Allah subhanahu wata’ala meninggalkannya siapa lagi yang dapat menyelamatkan dia baik di dunia dan di akhirat kelak?
Dalam hadits lain, Allah subhanahu wata’ala benar-benar akan
mencampakkan pelaku perbuatan riya’ ke dalam An Naar. Sebagaimana hadits
Abu Hurairah yang diriwayatkan Al Imam Muslim, bahwa yang pertama kali
dihisab di hari kiamat tiga golongan manusia: pertama; seseorang yang
mati di medan jihad, kedua; pembaca Al Qur’an, dan yang ketiga;
seseorang yang suka berinfaq. Jenis golongan manusia ini Allah subhanahu
wata’ala campakkan dalam An Naar karena mereka beramal bukan karena
Allah subhanahu wata’ala namun sekedar mencari popularitas. (Lihat HR.
Muslim no. 1678)
Perlu diketahui, bahwa riya’ yang dapat membatalkan
sebuah amalan adalah bila riya’ itu menjadi asal (dasar) suatu niatan.
Bila riya’ itu muncul secara tiba-tiba tanpa disangka dan tidak terus
menerus, maka hal ini tidak membatalkan sebuah amalan.
BAGAIMANA CARA MENGOBATINYA?
Di antara cara untuk mencegah dan mengobati perbuatan riya’ adalah:
1. Mengetahui dan memahami keagungan Allah subhanahu wata’ala, yang
memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
Ketahuilah, Allah subhanahu wata’ala adalah Maha Mendengar dan Maha
Melihat serta Maha Mengetahui apa-apa yang nampak ataupun yang
tersembunyi. Maka akankah kita merasa diperhatikan dan diawasi oleh
manusia sementara kita tidak merasa diawasi oleh Allah subhanahu
wata’ala?
Bukankah Allah subhanahu wata’ala berfirman
(artinya):”Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam
hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya”, …” (Ali
Imran: 29)
2. Selalu mengingat akan kematian.
Ketahuilah,
bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian. Ketika seseorang selalu
mengingat kematian maka ia akan berusaha mengikhlaskan setiap ibadah
yang ia kerjakan. Ia merasa khawatir ketika ia berbuat riya’ sementara
ajal siap menjemputnya tanpa minta izin /permisi terlebih dahulu.
Sehingga ia khawatir meninggalkan dunia bukan dalam keadaan husnul
khatimah (baik akhirnya) tapi su’ul khatimah (jelek akhirnya).
3. Banyak berdo’a dan merasa takut dari perbuatan riya’.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita
do’a yang dapat menjauhkan kita dari perbuatan syirik besar dan syirik
kecil. Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Thabrani dari shahabat Abu
Musa Al Asy’ari bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wahai manusia takutlah akan As Syirik ini, sesungguhnya ia lebih
tersamar dari pada semut. Maka berkata padanya: “Bagaimana kami merasa
takut dengannya sementara ia lebih tersamar daripada semut? Maka berkata
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :” Ucapkanlah:
“Ya, Allah!
Sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami
ketahui. Dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami
tidak mengetahuinya.”
4. Terus memperbanyak mengerjakan amalan shalih.
Berusahalah terus memperbanyak amalan shalih, baik dalam keadaan
sendirian atau pun dihadapan orang lain. Karena tidaklah dibenarkan
seseorang meninggalkan suatu amalan yang mulia karena takut riya’. Dan
Islam menganjurkan umat untuk berlomba-lomba memperbanyak amalan shalih.
Bila riya’ itu muncul maka segeralah ditepis dan jangan dibiarkan terus
menerus karena itu adalah bisikan setan.
Apa yang kita amalkan ini
belum seberapa dibandingkan amalan, ibadah, ilmu dan perjuangan para
shahabat dan para ulama’. Lalu apa yang akan kita banggakan? Ibadah dan
ilmu kita amatlah jauh dan jauh sekali bila dibandingkan dengan ilmu dan
ibadah mereka.
Berusaha untuk tidak menceritakan kebaikan yang kita
amalkan kepada orang lain, kecuali dalam keadaan darurat. Seperti, bila
orang berpuasa yang bertamu, kemudian dijamu. Boleh baginya mengatakan
bahwa ia dalam keadaan berpuasa. (Lihat HR. Al Imam Muslim dari sahabat
Zuhair bin Harb no. 1150)
Namun boleh pula baginya berbuka (membatalkan puasa selama bukan puasa yang wajib) untuk menghormati jamuan tuan rumah.
BEBERAPA PERKARA YANG BUKAN TERMASUK RIYA’
1. Seseorang yang beramal dengan ikhlas, namun mendapatkan pujian dari manusia tanpa ia kehendaki.
Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Dzar, bahwa ada
seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
“Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal (secara ikhlas) dengan
amal kebaikan yang kemudian manusia memujinya?” Maka Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Itu adalah kabar gembira yang
disegerakan bagi seorang mukmin”.
2. Seseorang yang memperindah penampilan karena keindahan Islam.
Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud, bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidaklah masuk
Al Jannah seseorang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah (setitik)
dari kesombongan.” Berkata seseorang: “(Bagaimana jika) seseorang
menyukai untuk memperindah pakaian dan sandal yang ia kenakan? Seraya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Sesungguhnya Allah
subhanahu wata’ala itu indah dan menyukai keindahan, kesombongan itu
adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”.
3. Beramal karena memberikan teladan bagi orang lain.
Hal ini sering dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Seperti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam shalat diatas mimbar
bertujuan supaya para shahabat bisa mencontohnya. Demikian pula seorang
pendidik, hendaknya dia memberikan dan menampakkan suri tauladan atau
figur yang baik agar dapat diteladani oleh anak didiknya. Ini bukanlah
bagian dari riya’, bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Barangsiapa yang memberikan teladan yang baik dalam
Islam, kemudian ada yang mengamalkannya, maka dicatat baginya kebaikan
seperti orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari
kebaikannya.” (HR. Muslim no. 1017)
4. Bukan termasuk riya’ pula
bila ia semangat beramal ketika berada ditengah orang-orang yang lagi
semangat beramal. Karena ia merasa terpacu dan terdorong untuk beramal
shalih. Namun hendaknya orang ini selalu mewaspadai niat dalam hatinya
dan berusaha untuk selalu semangat beramal meskipun tidak ada orang yang
mendorongnya.
Semoga risalah ini mendorong kita untuk memperbanyak
ibadah dan selalu waspada dari bahaya perbuatan riya’. Amin ya Rabbal
‘alamin.
No comments:
Post a Comment